Berita Nasional
Penyiksaan oknum polisi terhadap masyarakat terkait pemaksaan kehendak disaat penyidikan, Pengamat Kepolisian : Wakil Rakyat Harus Segera Ajukann Revisi UU No 08 Tahun 1981 KUHAP
Berita Patroli Jakarta – Keadilan harus ditegakkan, hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh, tapi ada etika hukum, menegakkan hukum secara beradab dan bermartabat, dengan memanusiakan manusia, karena hukum adalah tatanan, hukum lahir karena norma dan etika, KUHAP bukan diartikan Kasih Uang Habis Perkara, atau Kurang Uang Harus Penjara, Seperti yang Belum lama ini Viral pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh beberapa oknum polisi, kepada masyakat yang menjadi saksi pidana perkara pembunuhan masyarakat yang apes tersebut bernama Sarpan, dirinya mengaku disiksa polisi, Kasus penyiksaan dialami korban saat dalam proses penyidikan korban beralamatkan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Korban penyiksaan yang merupakan saksi mata kasus pembunuhan, dan dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku. Menanggapi semakin maraknya terjadi kasus penyiksaan dalam penyidikan, pengamat Kepolisian yang juga seorang Advokat ini angkat bicara,” Wakil rakyat harus mendesak Pemerintah untuk segera membahas rancangan UU No 08 Tahun 1981, RKUHAP dengan menjamin penahanan di kepolisian tidak lagi dilakukan.

Kantor YLBH Rastra Justitia 789
Selain itu, juga memperketat pengawasan hingga mengatur ulang jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan, sudah dalam UU No 08 tahun 1981 terduga yang akan diperiksa sebagai tersangka yang akan diperiksa, harus didampingi kuasa hukumnya, apalagi diancam dengan pidana diatas 5 tahun, kalau memang hanya duperiksa sebagai saksi hendaknya para penyidik memperhatikan norma norma dan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, serta Perkap Kapolri terkait Managemen penyidikan, bukan mengejar pengakuan , Kami sebagai praktisi hukum mendesak wakil rakyat dan Pemerintah agar segera mulai mengambil langkah untuk melakukan perbaikan substansial terhadap sistem peradilan pidana melalui revisi KUHAP agar tidak ada lagi ruang untuk praktik-praktik penyiksaan,” kata Direktur Yayasan LBH Rastra Justitia789, Didi Sungkono, S.H.M.H saat berikan keterangan PERS kepada awak media.
Perlu masyarakat ketahui, Sarpan merupakan saksi mata dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada 2 Juli 2020 di Jalan Sidumolyo Gg Gelatik Pasar 9 Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Seituan, Deli Serdang. Buruh bangunan tersebut, diamankan dan ditahan selama lima hari tanpa adanya surat penahanan yabg diterima keluarganya, dan diduga mendapat penyiksaan dari oknum penyidik di Polsek Percut Seituan.
Selama ditahan, istri Sarpan berusaha menjenguk ke kantor polisi namun dihalang-halangi petugas. Sarpan akhirnya baru dilepas pada 6 Juli 2020 setelah warga melakukan unjuk rasa di depan Polsek Percut Seituan dengan tuntutan pembebasan ketua RT tersebut.

Sarpan, masyarakat yang mengaku disiksa oleh oknum oknum penyidik yang bermental preman, disuruh mengakui sebagai pelaku pembunuhan, selama 6 hari diamankan..ditahan tanpa prosedural, tegakkan hukum secara beradab dan bermartabat, Era baru paradigma baru, lebih profesional dan proporsional, bukan arogan, sebagai pelaksana hukum, semua sama dimata hukum.
Sarpan kemudian pulang dalam kondisi lebam pada wajah, dada, dan punggung yang diduga karena pemukulan. Sarpan juga mengaku matanya dilakban ketika diperiksa dan disetrum saat berada di sel tahanan untuk dipaksa mengaku menjadi pelaku pembunuhan, meski dia telah menyebutkan nama pelaku sebenarnya, yang tidak lain merupakan anak dari pemilik rumah tempatnya bekerja sebagai kuli bangunan.
Terhadap insiden ini, dua orang petinggi Polsek Percut Sei Tuan tersebut yakni Kanit dan Panit Reskrim diperiksa Propam Polrestabes Medan. Kasubdit Penmas Polda Sumut AKBP MP Nainggolan pada 8 Juli 2020 mengatakan, kasus tersebut kini dalam penyelidikan propam dan bila nanti terbukti tentu akan diberikan sanksi disiplin atau sanksi etik.
Lebih jauh Didi Sungkono menambahkan “Kami memandang kasus ini tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun sanksi etik. Sebab, tindakan oknum penyidik tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga menjadi wajar jika dijatuhi sanksi pidana, polisi adalah sipil yang dipersenjatai, semua diatur dalam UU No 02 tahun 2002 tentang kepolisian, Kapolda harus tegas, periksa para oknum oknum yang bermental preman itu, jerat dengan KUHP sidangkan secara terbuka, biar publik yang menilai, buktikan Polri sudah berubah di Era paradigma baru, ujarnya
Pemberian sanksi yang tegas dalam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat sipil negara perlu dilakukan untuk menunjukkan adanya akuntabilitas khususnya dalam hal ini pada institusi kepolisian. Direktur LBH Rastra Justutia789 ini menilai bahwa kasus-kasus penyiksaan khususnya yang selama ini terjadi dalam sistem peradilan pidana memang tidak pernah direspon dengan memadai.
Tidak heran jika sejak Kasus Sengkon-Karta mencuat pada 1974 hingga saat ini yang hampir 50 tahun lamanya, dan kasus pembunuhan yang terjadi diwilayah kab jombang jawa timur, hingga terpidana sudah menjalani selama 6 tahun akhirnya dikeluarkan karena tersangka utama berhasil ditangkap, praktik-praktik penyiksaan masih langgeng digunakan oleh oknum oknum penyidik dalam mengejar pengakuan untuk kemudian dijadikan alat bukti di persidangan. Dan juga tidak sulit untuk mencari data-data kasus penyiksaan tersebut yang angkanya direkap setiap tahun dalam laporan lembaga seperti KontraS hingga LBH Jakarta.
LBH Rastra dalam penelitiannya pada 2019 juga menemukan bahwa dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati. Dalam penelitian mengenai penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, LBH Rastra mengulas salah satu kasus yang sempat gempar pada 2016 yakni kasus Yusman Telaumbanua.
Yusman diketahui mengalami penyiksaan saat penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman.
LBH Rastra Justitia 789 menemukan setidaknya 23 dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni oknum penyidik melakukan intimasi dan penyiksaan secara fisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan,” Urai Pengamat Kepolisian asal Kota Pahlawan Surabaya ini
Ironinya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas diatur dalam hukum acara pidana.
Hal ini kemudian memperlihatkan bagaimana mengerikannya situasi saat ini dimana negara berani menjatuhkan hukuman mati ketika sistem peradilan pidananya masih belum mampu menghadirkan peradilan yang adil (fair trial).
RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu mengakomodir beberapa ketentuan. Pertama, memperketat pengawasan dan membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan.
RKUHAP harus secara ketat mengatur larangan permanen penggunaan kantor-kantor kepolisian sebagai tempat penahanan, penahanan harus dilakukan pada institusi lain, guna menjamin adanya pengawasan bertingkat.
Kedua, mengatur ulang hukum pembuktian dan jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan. Ketiga, mengatur secara rinci mekanisme keharusan hakim memeriksa dugaan penyiksaan yang terjadi dalam proses penyidikan.
“Terakhir memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa khususnya hak pendampingan hukum yang dapat menjamin pemberian bantuan hukum yang efektif,” Urai Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas ternama diSurabaya ini ( Ndre/ khamim)
