Connect with us

Berita Patroli

Berita Patroli

JATIM

Cermin Buram Transparansi Pejabat Publik di Kediri, Sulitnya Akses ke Kabid Bina Marga PUPR Kabupaten Kediri: “Air Beriak Tanda tak Dalam”

Akses informasi publik bukan hak istimewa, tapi kewajiban pejabat.Jurnalis di Kediri kesulitan menemui Kabid Bina Marga PUPR, padahal keterbukaan adalah amanat undang-undang.

Akses informasi publik bukan hak istimewa, tapi kewajiban pejabat.
Jurnalis di Kediri kesulitan menemui Kabid Bina Marga PUPR, padahal keterbukaan adalah amanat undang-undang.

Berita Patroli – Kediri

Upaya sejumlah jurnalis di Kabupaten Kediri untuk mendapatkan konfirmasi dari pejabat publik kembali menemui jalan buntu. Sosok yang sulit ditemui kali ini adalah HS, Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Kediri, yang disebut-sebut nyaris mustahil diakses langsung oleh wartawan.

Percobaan konfirmasi terbaru oleh Aksennews.com pada Kamis (16/10/2025) siang tak membuahkan hasil. Wartawan hanya diarahkan ke staf bernama Anwar Samsudin dan seorang satpam di pintu masuk. Setelah diminta mengisi buku tamu serta meninggalkan nomor telepon dan keterangan, tak pernah ada kabar kapan bisa bertemu dengan pejabat bersangkutan.

Beberapa hari sebelumnya, jurnalis Detikzone.id juga mengalami hal serupa. Tidak ada kejelasan, apalagi jawaban.

Bagi kalangan pers di Kediri, hal ini menimbulkan keresahan. Tugas menyajikan berita berimbang kepada publik menjadi terhambat karena akses ke sumber informasi utama justru tertutup rapat.

Dalam praktiknya, wartawan sering menghadapi situasi yang disebut “melek sebelah” pintu informasi seolah terbuka hanya separuh. Upaya konfirmasi langsung kerap berakhir tanpa hasil. Ironisnya, klarifikasi dari pejabat justru datang setelah berita tayang, bahkan disampaikan ke media lain.

Ungkapan lama “air beriak tanda tak dalam” terasa pas menggambarkan fenomena ini. Klarifikasi yang datang terlambat bukan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan kesalahpahaman baru di masyarakat.

Wartawan muda yang datang dengan surat tugas dan identitas resmi sering kali dihadapkan pada pertanyaan seperti, “Apakah sudah janjian?” atau “Media-nya aktif di mana?” Seolah-olah hak untuk memperoleh informasi hanya milik kalangan tertentu.

“Tangan tak sampai, hati tak akan tenang,” begitu ungkapan yang mewakili perasaan jurnalis yang ditolak halus. Akses terhadap pejabat publik seperti HS terasa begitu terbatas, padahal kehadiran wartawan bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk memastikan fakta disampaikan dengan benar.

Yang lebih miris, pejabat tersebut disebut lebih aktif menanggapi komentar di media sosial ketimbang menerima konfirmasi langsung dari jurnalis. Padahal semua media besar maupun kecil, memiliki tanggung jawab yang sama terhadap masyarakat.

Pepatah lama berkata, “Kapan perahu bisa berlayar jika dayung tak pernah dipukul?” Begitu pula tugas jurnalistik yang terhambat ketika pejabat publik memilih diam.

Meski wartawan telah membawa surat tugas, kartu pers, dan sertifikat kompetensi, stigma negatif masih sering melekat. Banyak pejabat masih beranggapan kedatangan wartawan identik dengan permintaan “uang rokok” atau “bensin”. Padahal, tak sedikit jurnalis yang bekerja dengan integritas tinggi dan menjunjung etika profesi.

“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” begitu pepatah yang menggambarkan rusaknya citra wartawan akibat ulah segelintir oknum.

 

Hak wartawan mencari dan mengolah informasi dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menghalangi akses informasi berarti melanggar hukum.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan kewajiban pejabat publik untuk bersikap transparan, kecuali terhadap informasi yang dikecualikan.

Presiden ke-7 RI Ir. Joko Widodo juga pernah mengingatkan bahwa pejabat publik tidak boleh alergi terhadap wartawan. Keterbukaan, kata Jokowi, adalah bagian dari akuntabilitas pemerintahan.

Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch. Bangun bahkan menyebut, sikap tertutup justru menurunkan kredibilitas pejabat di mata masyarakat.

“Melek Sebelah” dalam Pemerintahan Terbuka

Ironisnya, di tengah gencarnya kampanye “pemerintahan terbuka”, masih banyak ruang informasi yang dikunci rapat.

Beberapa daerah memang mendapat penghargaan sebagai daerah “informatif” dalam Anugerah Keterbukaan Informasi Publik, tetapi di lapangan masih banyak pejabat yang memilih “melek sebelah” membuka satu mata dan menutup yang lain.

Tulisan ini bukan untuk menyerang siapa pun, melainkan sebagai pengingat: wartawan bukan musuh pejabat, tapi jembatan antara pemerintah dan masyarakat.

“Mari duduk bersama, buka data, dan saling memahami,” begitu ajakan sederhana kami.

Buka lebar kedua matamu, jangan ‘melek sebelah’. Wartawan dan pejabat punya tujuan yang sama: membangun kepercayaan publik.

Kalau memang tak ada yang disembunyikan, kenapa takut bicara? Wartawan hanya datang untuk konfirmasi bukan untuk membuat drama seperti Tom & Jerry.
Kalaupun ada drama, itu nanti… beda orangnya.

(ND)

Continue Reading
You may also like...
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in JATIM

To Top