Berita Nasional
SATPAS Polres TUBAN TERBITKAN SIM A Tanpa ujian, TEORI, Praktek, CALO dikoordinir oleh Oknum POLRI Setempat

SIM A Yang telah diterbitkan SATPAS Polres Tuban tanpa SOP, sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ.
Ironisnya, pemilik SIM A tersebut mengaku kepada awak media bahwa dirinya sama sekali belum bisa mengemudikan mobil.
Berita Patroli – Tuban
SATPAS Polres Tuban diduga Terbitkan SIM A tanpa SOP yang sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang.
Polri adalah milik masyarakat, Polri ada untuk masyarakat, dan negara. Salah satu tugas pokok Polri sebagaimana diatur dalam UU No 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian adalah memberikan pelayanan, perlindungan, dan pengayoman. Fungsi Polri sudah sangat jelas diatur dalam slogan yang selalu digembor-gemborkan, PROMOTER, PRESISI, Rastra Sewakottama, TRIBRATA.
Namun, seakan hilang tak berbekas arahan-arahan dari pimpinan. Korlantas seakan diabaikan oleh Oknum Polisi yang berdinas di SATPAS Polres TUBAN, Daerah Jawa Timur.
Perlu masyarakat ketahui, jual beli kewenangan dengan imbalan “rupiah” yang begitu masif, terstruktur, tertata apik dan rapi, seakan-akan sudah terbiasa. UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ seakan dalam penerapannya diabaikan oleh oknum-oknum Satlantas tersebut.
Fungsi PROPAM, PAMINAL seakan tumpul. Tidak salah bila masyarakat menduga-duga, ada apa ini??
Propam Polri adalah garda terdepan penjaga marwah Kepolisian Republik Indonesia, harus selalu obyektif, proaktif turun ke lapangan, melakukan investigasi penyelidikan, untuk membongkar praktik-praktik “culas” tersebut.
Namun bagaikan buih di lautan, hilang tak berbekas. “Lantas kemana masyarakat mau memberikan informasi?”
Evaluasi secara mendalam sangat diperlukan, karena hingga berita ini ditayangkan, pungutan liar di SATPAS Polres TUBAN tetap terjadi, tidak berubah.
Dugaan pungutan liar seolah-olah dilegalkan sangat bertentangan dengan jargon KAPOLRI yang digaung-gaungkan, PRESISI.
Perlu masyarakat ketahui, fakta di lapangan terjadi jauh panggang dari api. Masyarakat harus berani bersuara secara terang dan transparan.

Tempat ujian praktik di SATPAS Polres Tuban tampak lengang, bahkan kosong melompong. Dalam satu hari, tidak lebih dari lima orang yang terlihat mengikuti ujian praktik.
Padahal, setiap hari diduga ada puluhan pemohon SIM A maupun SIM C baru. Sesuai aturan, setiap pemohon wajib menjalani ujian teori dan praktik. Namun kenyataannya, prosedur tersebut terkesan diabaikan, bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Pungli bukan rezeki, Pungli jelas melawan Undang-Undang dan aturan. Pungli bukan dilindungi dan ditutup-tutupi.
Masyarakat harus mengetahui bahwa pungutan liar atau sering disebut PUNGLI bagaikan angin, ada tapi tidak tampak. Bagaikan gunung es, tampak kecil tapi menggurita di bawahnya. Mengakar, bahkan dapat diduga tersistematis, terstruktural, dan masif.
POLRI sebagaimana UU No 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian adalah penjaga keamanan dalam negeri (Kamdagri). Polri sebagaimana diatur oleh UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ (Lalu Lintas Angkutan Jalan) juga sebagai pelaksana terbitkan SSB (SIM, STNK, dan BPKB). Itu adalah sebuah kewenangan besar sebagaimana diatur oleh Undang-Undang di atas.
Pengamat Kepolisian asal Surabaya “Didi Sungkono, S.H., M.H.” kepada wartawan menerangkan, “Kalau memang benar SATPAS Polres Tuban terbitkan SIM A tanpa prosedural dan SOP sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ, itu tidak bisa dibenarkan. Apalagi dugaan ada pat gulipat, kongkalikong memeras pemohon SIM dengan nominal tertentu. Kelakuan oknum yang seperti ini harus diluruskan, ditindak, karena sangat rawan. Apalagi terbitnya SIM itu salah satu bukti ‘kecakapan’ untuk mengemudi. Kalau didiamkan saja oleh pimpinan Polri (tidak ada tindakan), ke depannya nanti akan berakibat membahayakan orang lain,” ujar Doktor Ilmu Hukum ini.
Pelaku PUNGLI jika dilakukan oleh oknum Polri, ASN bisa dijerat dengan UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,” tambahnya.
Perlu masyarakat ketahui, kewenangan yang disalahgunakan oleh oknum-oknum berdinas di SATPAS Polres TUBAN wilayah Polda Jawa Timur harus diusut secara tuntas.
Oknum-oknum “memperjualbelikan” kewenangan demi sebuah kenyamanan, hidup “hedonisme” dengan cara-cara pat gulipat dengan biro jasa (biro jasa/calo). Karena mengejar gaya hidup hedonisme, mengeruk uang “rakyat” dengan cara PMH (Perbuatan Melawan Hukum).
Tata cara penerbitan SIM baru baik SIM C atau A dilanggar oleh oknum-oknum tersebut.
Berdasarkan investigasi wartawan Berita PATROLI selama sepekan, pemohon untuk mendapatkan SIM A melalui CALO membayar Rp 1.250.000. Tidak usah mengikuti prosedur sebagaimana diperintahkan UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ, tidak mengikuti ujian teori dan praktek. Apa tidak “bahaya”?
Salah satu pemohon SIM A tersebut di atas tidak bisa mengemudi mobil sama sekali, tapi bisa diloloskan (dan sekarang sudah memiliki SIM A).

Pemeriksaan kesehatan bagi pemohon SIM, baik baru maupun perpanjangan, ternyata tidak dilakukan oleh dokter. Mereka yang melakukan pemeriksaan tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga kesehatan, bukan perawat, bidan, maupun dokter yang memiliki izin praktik.
Meski jelas tertera izin praktik atas nama Dr. Hartono, di dalam ruangan justru ada dua perempuan yang bukan bernama Hartono (dokter dimaksud). Mereka hanya menjual kertas berstempel dokter dengan harga Rp30.000.
Perlu masyarakat ketahui, sudah jelas dalam UU No 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ (Lalu Lintas Angkutan Jalan) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon SIM sebelum menerima SIM yang diterbitkan oleh kepolisian melalui SATPAS.
Salah satunya adalah lulus ujian teori, lulus ujian praktek. Namun apa yang menjadi SOP tata cara penerbitan SIM baru tidak dilaksanakan oleh oknum-oknum yang berdinas di SATPAS Polres TUBAN.
Tempat praktek lengang, kosong melompong. Dalam sehari tidak lebih dari 5 yang ikut ujian praktek, padahal dalam sehari patut diduga puluhan pemohon SIM A dan C baru. Tentunya harus diadakan ujian teori dan praktek, namun semuanya terkesan diabaikan.
Seperti yang dituturkan oleh “Y”, 34 tahun, kepada awak media,
“Saya ini mau kerja di IKN, salah satunya persyaratan adalah mempunyai SIM A, karena saya belum bisa mengemudi mobil. Rencana nanti di IKN sambil belajar mengemudi. Melalui oknum calo yang bernama Jml, saya ini ditawari urus SIM A di SATPAS Tuban.
Intinya duduk, diam, dengerin musik, SIM jadi. Dan ini memang benar saya alami sendiri. Tidak ribet, cukup saya membayar Rp 1.250.000 sesuai permintaan Jml. Surat kesehatan langsung dibawakan, psikotes saya sudah dikondisikan, dan saya langsung diajak ke dalam SATPAS untuk antri foto. Tanpa ada ujian teori dan praktek, tidak pakai lama, SIM A baru langsung jadi.”
“Y” melanjutkan, “Ada juga bareng saya tadi banyak melalui bapak-bapak polisi di dalam. Semua bebas, seakan-akan sudah terbiasa. Kalau ujian teori atau praktek jelas saya tidak lulus, lha saya ini mengemudi saja tidak bisa sama sekali,” ujar Y.
Hal senada juga disampaikan Hari, 50 tahun.
“Waduh mas, kita ini sudah berkali-kali test teori, praktek tidak bisa lulus, sulit sekali. Tapi kalau melalui calo, ini langsung jadi. SIM C baru Rp 950.000,” pungkasnya.
Berdasarkan pengamatan wartawan, yang melakukan uji Riksa kesehatan pemohon SIM baik baru atau perpanjangan bukan dokter. Mereka tidak punya kompetensi sebagai tenaga kesehatan, bukan perawat atau bidan atau dokter yang sudah ada izin prakteknya.
Jelas tertera izin prakteknya Dr Hartono, tapi yang di dalam dua perempuan yang jelas bukan bernama Hartono (Dokter Hartono). Mereka hanya menjual kertas berstempel dokter dengan harga Rp 30.000.
Pemohon SIM baru dan perpanjangan memang ratusan setiap harinya dan rata-rata hampir 90% dipastikan melalui biro jasa atau oknum Satlantas yang berdinas di SATPAS.
Jelas menurut PP No 76 Tahun 2020 SIM A biaya sebesar Rp 120.000, biaya psikotest Rp 125.000. Wajar bila masyarakat bertanya dengan nada lembut, dari total uang Rp 1.250.000 kemana? Apa mungkin uang tersisa Rp 1.000.000 masuk ke kantong calo atau biro jasa?
Jawabnya bisa dipastikan tidak mungkin, karena dari beberapa informasi yang akurat, 1 SIM A baru, calo atau biro jasa mendapatkan uang jasa Rp 100.000, sisanya diserahkan kepada oknum-oknum yang berdinas di SATPAS tersebut di atas.
Apakah pungutan liar tersebut tidak sepengetahuan BAUR SIM, Kanit Regident, atau Kasatlantas? Untuk menjawab ini tentunya pihak Paminal atau PROPAM Polda Jawa Timur yang harus transparan kepada masyarakat.
Kemana larinya aliran-aliran uang hasil kejahatan yang tersistematis tersebut? Dalam sehari terbit SIM A baru sekitar 100 buah dikalikan Rp 900.000 = Rp 90.000.000 x 26 hari = Rp 1.800.000.000. Sungguh fantastis.
BAUR SIM SATPAS Polres Tuban saat dikonfirmasi wartawan tidak bisa dihubungi, baik melalui WA atau telepon tidak direspons.
(Rusli/ Suyanto/ Aris/ Arinta/ Tomy/ Adit/ Nyoto/ Safruddin/ Yuli)

You must be logged in to post a comment Login