Berita Nasional
Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., “Hakim Tinggi PONTIANAK BEBASKAN KORUPTOR, HARUS diperiksa, PATUT diduga JUAL BELIKAN HUKUM”

Pengamat Hukum dari Surabaya Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., mengatakan,
“Korupsi itu ibarat duri dalam daging dalam upaya negara mensejahterakan rakyat, masyarakat dalam membangun perekonomian.
Korupsi sifatnya sangat merusak, korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, dan diperangi di seluruh belahan bumi, berbagai negara termasuk Indonesia.
Dengan status ini, negara-negara memperlakukan korupsi dengan sangat serius karena dianggap sangat berbahaya.
Bahaya korupsi di Indonesia disejajarkan dengan kejahatan luar biasa lainnya, yaitu terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau perusakan lingkungan berat.
Bahkan korupsi dengan statusnya ini telah sejajar dengan extraordinary crime berdasarkan Statuta Roma, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.
Tentunya bukan tanpa sebab korupsi dianggap kejahatan luar biasa di negara ini.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Korupsi menyebabkan kerusakan yang besar dan meluas.
Ada alasan utama mengapa korupsi disebut kejahatan luar biasa adalah karena daya rusaknya yang besar,” ujar Doktor Ilmu Hukum ini.
Berita Patroli – Pontianak
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) tiga kalimat pendek ini yang telah meluluhlantakkan negeri, mematikan harapan jutaan anak anak bangsa. Perilaku KKN harus diberantas. Pelaku KORUPTOR yang merugikan bangsa dan negara berimbas ke rakyat. KUHAP bukan diartikan Kasih Uang Habis Perkara atau KUHAP diartikan Kurang Uang Harus Penjara.
Saat awak media meminta tanggapan dari pengamat hukum Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., terkait putusan bebas yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi PONTIANAK, “Itu sangat miris dan memprihatinkan. Jelas oleh pengadilan negeri divonis puluhan tahun, malah dibebaskan oleh hakim tinggi (pengadilan tinggi). Inikan tidak mencerminkan kepekaan, tidak mencerminkan asas kepedulian terhadap bangsa dan negara. Harusnya diperberat para pelaku Korupsi ini, bukan malah dibebaskan, dikembalikan semua aset asetnya. Ini salah satu bukti ‘matinya’ sebuah keadilan di negeri ini,” urai Didi Sungkono.
Lebih lanjut pengamat hukum ini menambahkan, “Jelas dan terang para pelaku dijerat dengan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 Tentang TIPIKOR. Bahkan vonis dari PN juga jelas, harusnya ditambah, bukan malah bebas murni. Patut diduga ada hal yang ‘kurang beres’ ini,” ujarnya.
Pelaku Koruptor merugikan anak bangsa, merugikan negara, merugikan masyarakat. Hukuman berat tidak bisa ditawar lagi. Kejaksaan harus upaya hukum lainnya agar para pelaku tersebut tidak melarikan diri keluar negeri. Segera upaya kasasi. Rakyat dan masyarakat akan mendukung 100%.
Majelis hakim yang menyidangkan perkara di Pengadilan Tinggi Pontianak harus dievaluasi secara mendalam, harus diperiksa, karena telah mencederai rasa keadilan bagi bangsa dan negara, masyarakat dan rakyat,” ujar Didi Sungkono yang juga sebagai Dosen Hukum ini.
Perlu pembaca ketahui, ada kejutan besar datang dari Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak. Dalam putusan banding yang kontroversial, majelis hakim membatalkan vonis 10 tahun penjara yang sebelumnya dijatuhkan kepada Paulus Andy Mursalim dalam kasus dugaan korupsi miliaran rupiah.
Tak hanya itu, PT Pontianak menyatakan Paulus tidak terbukti bersalah dan memerintahkan pembebasannya segera dari tahanan, serta mengembalikan seluruh hak, aset, dan martabatnya.
Putusan ini sontak menimbulkan gelombang pertanyaan. Publik dan sejumlah pengamat hukum menilai ada kejanggalan serius dalam proses penegakkan hukum kasus ini. Ada apa ini? Patut diduga, patut ditengarai, ada pat gulipat, ada udang di balik batu. Miris memang, dari Vonis Berat ke Bebas Murni
Paulus sebelumnya divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pontianak pada 3 September 2025.
Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Terpidana Korupsi atau disebut KORUPTOR bernama ANDY PAULUS, sekarang sudah bebas, melenggang, tertawa terbahak-bahak menikmati hasil “menggarong” uang negara, uang rakyat dan masyarakat.
Kehebatan hakim Pengadilan Tinggi Pontianak patut dievaluasi secara mendalam. Terdakwa divonis 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor, namun dibebaskan melalui putusan banding Pengadilan Tinggi Pontianak Kalbar.
Sangat miris dan tragis penegakkan hukum di negeri ini. Maling ayam, maling “ecek-ecek”, maling kelas teri tetap meringkuk di sel yang pengap. Pelaku KORUPSI bisa melenggang, bebas, semua aset dikembalikan.
Patut diduga ada pat gulipat, patut diduga ada udang di balik bongkahan berlian, atau uang dollar. KPK, KEJAGUNG harus bergerak. Rakyat menanti transparansi hukum.
Selain hukuman penjara, ia juga dijatuhi denda Rp500 juta subsidair 2 bulan kurungan, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp31,47 miliar.
Jika tak dibayar dalam satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap, hartanya akan disita dan dilelang. Bila tak mencukupi, ia harus menjalani pidana penjara tambahan 5 tahun.
Namun kini, semua itu dibatalkan oleh majelis hakim PT Pontianak yang dipimpin oleh Pransis Sinaga bersama dua anggotanya, Tri Andita Juristiawati dan Dwi Jaka Susanta. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa Paulus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan jaksa, baik primer maupun subsider.
Majelis juga memerintahkan pengembalian seluruh barang bukti, termasuk dokumen dan sejumlah aset tanah serta bangunan ruko di kawasan strategis, yakni Jalan Pahlawan Gang Hidayat dan Gang Tunas Bakti, Kota Pontianak.
Masyarakat gempar, heboh, pertanyakan independensi majelis hakim yang terhormat. Aroma busuk mulai menyeruak dan tercium. Transparansi hukum tercederai oleh oknum oknum majelis hakim.
Pantas saja putusan bebas ini langsung menuai sorotan. Sejumlah pihak mempertanyakan logika hukum dan pertimbangan yang dipakai majelis hakim PT Pontianak dalam membebaskan Paulus, yang sebelumnya sudah divonis bersalah oleh pengadilan tingkat pertama dengan bukti-bukti yang disebut “kuat dan lengkap”.
Salah satu pengamat hukum menyebutkan bahwa putusan ini terkesan janggal, apalagi mengingat jumlah kerugian negara yang dituduhkan mencapai puluhan miliar rupiah. “Ini bukan perkara ringan. Kalau vonis berat tiba-tiba dibatalkan total, publik berhak bertanya: ada apa di balik semua ini?” ujar seorang pakar hukum pidana dari Universitas Tanjungpura yang enggan disebut namanya.
Apalagi, jaksa penuntut umum Kejati Kalbar sebelumnya menuntut hukuman yang jauh lebih berat: 16 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan uang pengganti Rp39,86 miliar, subsidair 8 tahun penjara.
Ke Mana Arah Penegakan Hukum?Kejanggalan ini membuka celah dan ruang bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Mereka tidak takut akan hukum. Lebih luas tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam perkara korupsi yang kerap disebut sebagai “extraordinary crime”.
Ketika putusan bebas seperti ini terjadi tanpa penjelasan yang terang benderang ke publik, wajar jika kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan kembali diuji.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejati Kalbar belum memberikan pernyataan resmi apakah akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atau menerima putusan tersebut.
Kasus Paulus Andy Mursalim menjadi sinyal penting, bahwa pengawasan terhadap lembaga yudisial dan transparansi proses peradilan adalah harga mati dalam membangun sistem hukum yang benar-benar adil dan bebas dari intervensi.
BERSAMBUNG.
(Daeng Alfian/ Arinta/ Tomy/ Adit/ Solihin/ Ipan)















You must be logged in to post a comment Login