Connect with us

Berita Patroli

Berita Nasional

UU Tipikor Dinilai Kabur, KPK Tegaskan Penafsiran UU Tipikor Tak Bisa Asal-asalan

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak

Berita Patroli – Jakarta

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menanggapi pernyataan kontroversial yang menyebut penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Menurut Johanis, pendapat hukum semacam itu harus disertai dasar dan alasan hukum yang kuat serta sesuai dengan teori ilmu hukum.

“Menurut saya, setiap orang boleh saja berpendapat, tetapi pendapatnya harus jelas dasar dan alasan hukumnya,” ujar Johanis, Jumat (20/6/2025).

Pernyataan ini menanggapi argumen dari ahli hukum Chandra M Hamzah dalam sidang uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang tersebut, Chandra menyatakan bahwa rumusan pasal-pasal itu terlalu luas dan bisa ditafsirkan sehingga menjerat warga biasa, seperti pedagang kaki lima di trotoar.

Menurut Chandra, penjual pecel lele bisa dianggap melakukan “perbuatan melawan hukum” karena menggunakan trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki untuk berjualan, dan ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi bila menguntungkan diri sendiri serta merugikan negara.

Namun Johanis menilai logika tersebut tidak berdasar. Ia merujuk prinsip hukum notoire feiten dalam hukum acara pidana, yaitu bahwa fakta yang sudah umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini, menurutnya, tidak masuk akal bahwa penjual pecel lele dapat menyebabkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara.

“Bila merujuk pada prinsip hukum tersebut, maka sudah dapat diketahui oleh umum bahwa tidak mungkin perbuatan penjual pecel lele di trotoar akan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,” tegasnya.

Lebih lanjut, Johanis menjelaskan bahwa jika Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dianggap bermasalah, maka kritik terhadap pasal tersebut harus disampaikan secara rasional dan berdasarkan teori penafsiran hukum, bukan semata pendapat pribadi yang tidak berdasar.

“Kalaupun suatu peraturan mau ditafsirkan, tentunya harus dilakukan sesuai dengan teori tentang penafsiran dalam ilmu hukum, tidak ditafsirkan berdasarkan pikiran kita semata tanpa mendasari pada aturan hukum dan alasan hukum yang rasiolegis,” ujarnya.

Sementara itu, dalam argumentasinya di MK, Chandra menyatakan Pasal 2 ayat (1) melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (tidak boleh ada analogi dalam hukum pidana). Ia juga mengusulkan agar frasa “setiap orang” dalam Pasal 3 diubah menjadi “pegawai negeri” atau “penyelenggara negara”, merujuk pada ketentuan Article 19 Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC).

“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa. Kemudian Pasal 3 direvisi dengan mengganti frasa ‘setiap orang’ menjadi ‘pegawai negeri’ dan ‘penyelenggara negara’,” ucap Chandra.

Sidang uji materi ini menjadi sorotan luas karena menyentuh aspek fundamental dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia, yakni kejelasan norma hukum dan batasan kewenangan dalam penafsiran undang-undang. (Red) 

Continue Reading
You may also like...
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Berita Nasional

To Top