Uncategorized
YLI ( Yuristen Legal Indonesia ) Buka Peluang Pendidikan Khusus Profesi Advokad di Jateng.

Berita Patroli – Jateng
Dalam upaya membangun sistem hukum yang adil di Indonesia, Advokat diharapkan tidak hanya berperan dalam membela pelaku kejahatan, tetapi juga membantu melindungi hak-hak Korban. Sayangnya, dalam praktik, Korban sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum atau haknya secara maksimal. Di mana seorang Korban kejahatan tidak mendapatkan ganti rugi (restitusi) karena Jaksa tidak mencantumkan tuntutan ganti ruginya dalam surat dakwaan. Padahal, sesuai aturan, Korban berhak atas restitusi sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Restitusi bagi Korban Tindak Pidana. Dalam kondisi seperti itu, justru Advokat yang berperan penting mendampingi Korban sejak pelaporan hingga sidang di pengadilan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peran Advokat tidak boleh dipandang hanya sebagai pembela Tersangka, tetapi juga sebagai pelindung keadilan bagi Korban, terutama ketika sistem hukum tidak berjalan sempurna. RUU KUHAP yang baru membuka peluang besar untuk memperkuat posisi Advokat. RUU KUHAP memberikan ruang lebih luas untuk pendampingan hukum, termasuk memperjelas hak Tersangka dan peran Advokat sejak tahap awal proses hukum. Namun, aturan ini akan sia-sia jika Aparat Penegak Hukum, seperti Polisi dan Jaksa, tidak benar-benar menjalankannya secara adil dan terbuka.
Advokat adalah bagian penting dari sistem keadilan yang menjaga hak asasi manusia, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Profesi Advokat adalah profesi terhormat (officium nobile), sehingga harus dijalankan dengan jujur, berani, dan penuh tanggung jawab. Mereka tidak boleh takut membela kebenaran, bahkan ketika harus berhadapan dengan aparat atau kekuasaan. Jika semua pihak : Advokat, Polisi, Jaksa, Hakim, dan masyarakat bisa bekerja sama, maka masa depan hukum Indonesia bisa menjadi lebih adil, terbuka, dan berpihak pada kemanusiaan. Advokat bukan hanya pengacara di Pengadilan, tetapi juga penjaga keadilan dan suara bagi masyarakat yang lemah di hadapan hukum, “ucap Dr Rohman Hakim, S.H.,M.H sebagai Doktor ilmu hukum yang paling berpengalaman.
Dalam sistem hukum modern, penegakan keadilan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan aparat negara seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi, melainkan juga oleh hadirnya Advokat sebagai aktor independen yang menjamin keseimbangan dalam proses peradilan pidana. Advokat memiliki posisi strategis sebagai penegak hukum yang berdiri sejajar dengan institusi penegak hukum lainnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Melalui peran litigasi dan non-litigasi, Advokat menjadi pengawal konstitusi dan pelindung hak asasi manusia yang mendampingi Klien dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, hingga eksekusi. Peran Advokat tidak boleh dibatasi oleh faktor sosial, budaya, ataupun ekonomi, karena Advokat idealnya hadir untuk melindungi kepentingan semua orang tanpa mempertimbangkan agama, budaya, asal-usul, status ekonomi, warna kulit, gender, atau faktor lain.
Namun, dalam kenyataannya, sistem hukum Indonesia masih lebih berorientasi pada pelaku tindak pidana. Sehingga peran Advokat pun masih sering diposisikan secara sempit sebagai pembela Tersangka/Terdakwa semata. Advokat merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia, tetapi eksistensinya kerap di curigai oleh Penyidik sebagai penghambat proses hukum. Hal ini di perparah oleh kelemahan dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang belum eksplisit menjamin pendampingan hukum sebagai hak absolut pada tahap awal penyidikan. Meskipun Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP memberikan penguatan terhadap hak-hak Tersangka, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi dan perubahan pola pikir Aparat Penegak Hukum.
Lebih lanjut, bahwa sistem peradilan pidana yang ideal seharusnya dilandasi oleh kerja sama institusional antara lima pilar utama atau panca wangsa penegak hukum.
Oleh karena itu, pembaruan KUHAP melalui RUU KUHAP perlu dipandang sebagai momentum untuk memperkuat dan memperluas peran Advokat dalam penegakan hukum. Tidak hanya sebagai pembela Tersangka, tetapi juga sebagai pengawal keadilan bagi Korban. Advokat semestinya diberi ruang yang lebih proporsional dan dijamin secara normatif agar perannya benar-benar menjadi jembatan antara warga negara dan keadilan hukum yang substansial.
*Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana*
Peran Advokat dalam sistem peradilan di Indonesia telah diakui sebagai bagian dari penegak hukum yang berdiri sejajar dengan Polisi, Jaksa, dan Hakim, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 140 KUHAP, Advokat memiliki fungsi utama dalam mendampingi Tersangka sejak tahap penyidikan, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-haknya, serta membela kepentingan hukum Klien di depan Pengadilan. Advokat adalah penjamin prinsip fair trial (peradilan yang adil) dalam setiap proses hukum.
Sejak tahap awal, yaitu saat seseorang diperiksa oleh Penyidik (tahap penyidikan), Advokat seharusnya sudah bisa hadir untuk mendampingi. Kehadiran Advokat penting agar orang yang diperiksa tidak ditekan, dan hak-haknya tidak dilanggar. Meskipun peran Advokat dalam proses penyidikan terlihat pasif, kehadirannya sangat berarti untuk menjamin proses hukum berjalan adil. Saat masuk ke tahap pengadilan, peran Advokat menjadi sangat aktif karena mereka membantu menjelaskan fakta, menghadirkan Saksi, dan membela Kliennya dari dakwaan.
Di sisi lain, Advokat juga memiliki tanggung jawab sosial melalui pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin (Pasal 22 UU Advokat). Hal ini menjadi pilar penting dalam mewujudkan akses keadilan yang merata. Sistem peradilan yang ideal tidak hanya membutuhkan Hakim dan Jaksa yang adil, tetapi juga Advokat yang profesional, mandiri, dan tidak tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi.
*Peran Advokat dalam RUU KUHAP*
Pembahasan RUU KUHAP menjadi peluang strategis untuk memperkuat posisi Advokat dalam sistem peradilan pidana. Salah satu poin penting dalam RUU ini adalah penguatan hak-hak Tersangka sejak tahap awal penyidikan, termasuk hak untuk mendapatkan pendampingan hukum. RUU KUHAP mengatur hak Tersangka secara lebih rinci dibandingkan KUHAP yang saat ini berlaku, terutama terkait hak pendampingan hukum yang melekat sejak awal pemeriksaan.
Namun, perumusan RUU KUHAP juga belum sepenuhnya bebas dari kritik. Terdapat ketidakjelasan mengenai pembagian wewenang antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam Pasal 6 dan Pasal 61 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan berdampak langsung pada efektivitas pendampingan oleh Advokat. Jika koordinasi antar lembaga tidak diperjelas, maka potensi intervensi terhadap kerja Advokat pun semakin besar.
Lebih lanjut, Advokat tidak boleh diposisikan hanya sebagai pelengkap prosedur hukum, tetapi sebagai subjek yang aktif memperjuangkan keadilan dan menjamin fair trial (peradilan yang adil). Seorang Advokat tidak hanya penasehat hukum, tetapi bagian dari sistem penegakan hukum yang bebas, mandiri, dan memiliki keberanian moral dalam memperjuangkan keadilan, bahkan di tengah tekanan atau ancaman sekalipun. Dengan semangat ini, perumusan RUU KUHAP harus secara eksplisit menempatkan Advokat sebagai aktor yang tidak hanya mendampingi Tersangka, tetapi juga mengawal transparansi proses hukum.
Meskipun KUHAP hanya memberi ruang terbatas kepada Advokat dalam tahap penyidikan, namun perannya menjadi sangat vital dalam memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang oleh Penyidik. Dalam konteks reformasi KUHAP, peran ini harus ditransformasikan dari yang semula pasif menjadi aktif, baik dalam pengawasan pemeriksaan, pelaporan intimidasi, hingga perlindungan Saksi dan Korban.
Di sisi lain, secara yuridis, perbedaan antara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan RUU KUHAP sangat penting dipahami. UU Advokat secara tegas memberikan stasus independen kepada Advokat sebagai penegak hukum. Namun, dalam praktik sistem peradilan pidana, KUHAP belum memberikan kekuatan operasional penuh kepada Advokat, terutama dalam tahap penyidikan. RUU KUHAP hadir untuk mengatasi kekosongan ini dengan cara memperjelas hak pendampingan hukum sebagai hak mutlak, bukan sekadar opsional. Jika peran ini berhasil diimplementasikan, maka posisi Advokat dalam penegakan hukum akan menjadi lebih kuat tidak hanya secara etik, tetapi juga secara struktural dan prosedural.
*Tantangan yang Di hadapi*
Walaupun peran Advokat telah diakui secara hukum sebagai penegak hukum yang setara dengan Aparat Penegak Hukum lainnya, namun dalam praktiknya, masih banyak tantangan yang dihadapi, baik dari sisi eksternal maupun internal profesi. Salah satu tantangan eksternal yang paling menonjol adalah persepsi negatif dari Aparat Penegak Hukum lain yang masih menganggap kehadiran Advokat sebagai pihak yang menghambat proses penyidikan. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 115 KUHAP yang mengatur kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan masih bersifat fakultatif, yang membuat hak Tersangka untuk di dampingi seringkali tidak dilaksanakan secara optimal.
Tantangan internal juga tak kalah penting. Adannya fenomena Advokat yang tidak menjalankan tugas secara profesional, seperti hanya menerima honorarium tanpa pendampingan maksimal, atau terlihat dalam praktik-praktik percaloan perkara. Hal ini memperlemah kepercayaan publik terhadap profesi Advokat. Tak dapat di pungkiri, ada sebagian Advokat yang justru menjadikan profesinya sebagai sarana mencari keuntungan pribadi semata, sehingga mengkhianati fungsi Advokat sebagai penjaga integritas keadilan.
Dengan adanya tantangan-tantangan tersebut, reformasi terhadap sistem peradilan pidana melalui RUU KUHAP perlu disertai dengan penguatan kelembagaan dan profesionalisme Advokat. Pendekatan interdisipliner dan kolaboratif antar Aparat Penegak Hukum harus di bangun, dan kode etik profesi Advokat perlu ditegakkan secara konsisten. ( Arinta, Tomi, Adit )















You must be logged in to post a comment Login