Connect with us

Berita Patroli

Uncategorized

Ketiadaan SLF Dapat Merusak Corporate Image TP5

Surabaya – Berita Patroli

Kepemilikan Sertifikat Laik Fungsi menjadi syarat wajib bagi para pengelola bangunan tinggi di Kota Surabaya, khususnya pusat perbelanjaan. Selain sebagai jaminan keamanan gedung, SLF sebenarnya mampu menjadi pendukung bagi penguatan citra perusahaan (corporate image).

Pakar Hukum Pertanahan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Dr. Sri Setiadji, SH M.Hum, menilai kebakaran hebat yang melanda Tunjungan Plaza (TP) 5 pada Rabu (12/4/2022) lalu berdampak buruk pada corporate image dari Tunjungan Plaza sendiri. Ditambah fakta gedung milik PT Pakuwon Jati Tbk tersebut ternyata belum mengantongi SLF.

Setiadji mengingatkan sebagai perusahaan terbuka, Pakuwon perlu menjaga corporate image. Sebab, peristiwa kebakaran yang sudah terjadi dapat mempengaruhi image publik yang dapat berdampak pada corporate image.

Sementara ketiadaan SLF menandakan tidak adanya kepastian hukum. Ini dapat berpengaruh terhadap minat investor.

“Jadi corporate imagenya ya, apa yang harus ditanggung oleh Pakuwon. Biasanya satu langkah satu perbuatan investasi itu yang paling utama adalah kepastian hukum,” kata Sri Setiadji , Kamis (28/4/2022).

Setiadji juga mengingatkan seharusnya Pemkot Surabaya lebih antisipatif dan berhati-hati dalam bersikap. Menurutnya, gedung bangunan tinggi milik Pakuwon Group lebih baik ditutup untuk sementara hingga SLF terbit.

“Lebih baik ditutup selama belum ada SLF,” katanya.

Sementara pada Pakuwon Group, Setiadji menyatakan harusnya sebagai perusahaan publik atau terbuka, berbadan hukum dan memiliki surat izin usaha mampu dengan mudah mengurus SLF sesuai yang ditentukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 14 Tahun 2018, tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No 26/07), tentang Penataan Ruang. SLF itu bagian sebuah persyaratan yang bersifat kumulatif, persyaratan yang harus dipenuhi, bersifat imperatif, sifat keharusan dan bersifat wajib.

Apabila pihak Pakuwon Group tidak memenuhi persyaratan yang wajib berupa SLF, dia menegaskan perusahaan tersebut telah melakukan tindak pidana dalam penataan dan pemanfaatan.

“Peristiwa yang terjadi pada pakuwon dalam hal ini Tunjungan Plaza TP 5, itu merupakan salah satu peristiwa hukum dan fakta yang tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Serta, peristiwa kebakaran yang terjadi pada TP 5, merupakan salah satu peristiwa hukum dan fakta, dengan penerapan sanksi yang di atur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007. Secara normatif, disebutkan dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 75, tentang ketentuan pidana terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang.

“Karena ada salah satu syarat yang bersifat komulatif dan imperatif tadi, yaitu sertifikat layak fungsi, berkaitan dengan itu, kembali sanksi itu melekat kepada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007,” tambahnya.

Dia juga menjelaskan di dalam Pasal 73, termuat ketentuan dengan jelas setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Dapat dipidana dan denda, serta mendapat pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

“Sehingga, pejabat pemberi ijin juga harus bertanggung jawab. Karena tidak melakukan pengawasan, dan pembinaan. Sampai adanya SLF terhadap gedung TP 5 itu,” kritiknya.

Oleh karena itu, menurut Setiadji, Pakuwon Group diduga melakukan perubahan terhadap penataan ruang, atau adanya sebuah renovasi tanpa berlandaskan ijin dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berhak menguji, saat permohonan SLF Bangunan Gedung.

Seperti diketahui, terbitnya SLF merupakan filterisasi OPD Kota Surabaya. Menjadikan SLF sebuah persyaratan mutlak sekaligus catatan komulatif, yang harus dipenuhi oleh pengembang.

“Mau merubah apapun pada sebuah ruang, pengembang harus memiliki report hingga progres. Dan juga harus ada izinnya,” sebutnya.

Selanjutnya, Setiadji menerangkan tentang Pasal 74 yang menyatakan pihak korporasi dapat dipidana penjara dan denda terhadap pengurusnya. Dapat pula dijatuhi sanksi berupa denda pemberatan tiga kali, serta juga dapat dijatuhi hukuman berupa pencabutan status badan hukum dan izin usahanya, jika tidak mentaati peraturan yang berlaku.

“Tapi yang jelas pengelola TP 5 ada satu kesalahan, kelalaian, atau bahkan kesengajaan. Yang mengakibatkan terjadinya kebakaran, yaitu tidak adanya SLF,” terangnya.

Dosen Program Studi Doktor Hukum S3 Untag Surabaya ini juga menyebutkan tentang Pasal 75 UU No 26/07 menyebutkan, bahwa siapapun yang merasa dirugikan atas terjadinya kebakaran di TP 5. Maka, diperkenankan untuk menuntut ganti kerugian, melakukan gugatan dan bisa melaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), yang disebabkan sebuah pelanggaran.

“Yang lebih berhak menuntut ganti rugi, yaitu para pemilik tenant. Akan tetapi, kebakaran tersebut adalah tindak pidana umum, yang seharusnya tanpa ada laporan pun, penegak hukum harus melakukan tindakan terhadap peristiwa itu,” jelasnya.

Lebih jauh, Setiadji mendorong pihak berwenang, yaitu kepolisian, untuk menuntaskan sumber api, dari peristiwa kebakaran di TP 5. Supaya, peristiwa tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi pemilik gedung lain, di Kota Surabaya.

“Kebakaran biasa aja bisa masuk laboratorium forensik dan seseorang bisa dilakukan penyidikan, ya mungkin saja saat sekarang ini masih proses penyelidikan. Kalau penegak hukum profesional sih, jelas nanti arahnya ke mana,” pungkasnya. (Adit, Tomy)

Continue Reading
You may also like...
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

More in Uncategorized

To Top