Uncategorized
Oknum Advokat Berkolaborasi dengan Oknum Penyidik Satreskoba Polres Kabupaten Mojokerto ” LEPASKAN TERSANGKA” Modus Rehabilitasi

Kritik tajam Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rastra Justitia, Didi Sungkono, S.H., M.Η. atas dugaan praktik Ilegal Oknum Penyidik Satreskoba Polres Kabupaten Mojokerto
Berita Patroli – Mojokerto
Dugaan praktik pelepasan tersangka jenis pil koplo (Dobel L) dengan dalih rehabilitasi oleh Polres Kabupaten Mojokerto menuai sorotan tajam. Kasus ini melibatkan seorang advokat yang juga diduga berperan sebagai makelar kasus (markus), bekerja sama dengan oknum penyidik Satresnarkoba setempat.
Wahyu Suhartatik, S.H., M.H., pengacara lima tersangka yang merangkap sebagai makelar kasus (Markus) perantara antara keluarga lima tersangka dengan oknum penyidik Satresnarkoba Polres Mojokerto, membenarkan bahwa para kliennya memang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Memang semuanya sudah tersangka Mas. Dan saya sebagai pengacaranya,” ujar Wahyu saat dikonfirmasi.
Ia juga menjelaskan bahwa sebelum dibebaskan, kelima tersangka sempat dibawa ke panti rehabilitasi di Sidoarjo selama empat hari, kemudian dikenai sanksi wajib lapor dan absen secara berkala di panti rehabilitasi tersebut.
“Ya, Mas. Memang itu benar. Mereka sudah direhabilitasi empat hari, dan selanjutnya mereka wajib lapor,” katanya

Akmad, satu dari lima orang yang ditangkap Satreskoba Polres kabupaten Mojokerto
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rastra Justitia, Didi Sungkono, S.H., M.H., mengecam keras tindakan tersebut yang dinilai tidak memiliki dasar hukum jelas, terutama jika menyangkut pelaku pengedar maupun pengguna obat keras berbahaya (OKERBAYA).
“Dalam hal ini sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang telah diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Pengguna yang kedapatan menguasai, memiliki, menyimpan, bisa dijerat dengan Pasal 435 dan Pasal 436 ayat (2),” ujar Didi Sungkono, S.H., M.H., saat ditemui, Sabtu (17/5).
Menurutnya, dalam undang-undang tersebut tidak ada satu pasal pun yang memberikan ruang bagi rehabilitasi terhadap pengedar atau pengguna pil koplo. Apalagi, jika seseorang sudah diamankan selama lebih dari tujuh hari tanpa kejelasan status hukum.
“Kalau sudah ditangkap selama tujuh hari, lalu status hukumnya bagaimana? Dalam KUHAP, khususnya Pasal 7 dan Pasal 20 UU No. 8 Tahun 1981, jelas disebutkan bahwa seseorang tidak boleh ditahan lebih dari satu kali 24 jam tanpa penetapan status hukum,” tegas Didi Sungkono, S.H.,M.H.
la mempertanyakan dasar hukum pelepasan tersangka melalui rehabilitasi, terutama bila tidak didukung hasil asesmen resmi dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan tidak melalui prosedur hukum yang sah.”Jika tidak cukup bukti, maka harus dilepaskan. Tapi kalau cukup bukti, maka wajib ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tidak bisa tiba-tiba dialihkan ke rehabilitasi tanpa proses yang sah,” sambungnya.
Didi Sungkono.S.H.,M.H. juga mendesak agar pihak berwenang, termasuk Propam Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), segera turun tangan menyelidiki adanya dugaan praktik percaloan kasus yang melibatkan oknum pengacara dan aparat penegak hukum di Indonesia.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah menyangkut integritas institusi hukum. Jangan sampai ada praktik jual beli hukum yang membungkus diri dengan kata ‘rehabilitasi’,” tutupnya.
Kasus ini memantik perhatian publik setelah muncul laporan dugaan kerja sama antara oknum pengacara dan aparat kepolisian dalam membebaskan lima tersangka narkoba di Mojokerto melalui modus rehabilitasi yang mencurigakan. Hingga kini, pihak kepolisian belum memberikan klarifikasi resmi atas tudingan tersebut. *(Tomy)*

You must be logged in to post a comment Login